Tuesday 13 July 2021

Bingung

 Di kesempatan ini aku mau cerita sedikit tentang keluarga. Mungkin dibanding teman-teman, aku ini masih sedikit beruntung kata orang-orang. Tapi siapa yang berhak menilai. Toh masing-masing dari kita tidak saling tau seperti apa kehidupan dalam keluarga lainnya, ya kan?

Sabtu malam tanggal 11 Juli 2021, hujan lumayan deras dengan angin yang lumayan besar juga. Tetangga bibiku datang ke rumah dengan menggunakan motor dan wajah sedikit panik menanyakan dimana ibuku sambil memegang payung merah ditangan kiri.

"Ibu dimana?" Dia bertanya cukup keras agar suaranya tidak kalah dengan berisik hujan.

"Lagi ngaji di rumah pak ustadz, coba ke bibi yang lain dulu" aku menjawab seperti tau apa maksud tetangga bibiku ini.

Dengan wajah sedikit kecewa tetanggaku pergi ke rumah bibiku yang lain.

Sekedar informasi saja, orang ini menanyakan keberadaan ibuku karna bibiku (adik dari ibu) sedang sakit dan terjatuh dari tempat tidurnya. Lumayan parah penyakitnya.

Setelah hujan berhenti dan bertukar gerimis, ibuku pulang dari rumah pak ustadz dan aku bilang bahwa tadi dia diminta untuk ke rumah bibiku. Ibu langsung siap-siap, tidak lama kakekku yang usianya sudah 70tahun lebih ke rumah nyari ibuku juga. Kakekku ini sudah susah untuk berjalan karna usia dan dia masih tetap ke rumahku dengan payung.

Hujan kembali deras. Dan kakekku berniat pulang. 

Aku mencegahnya, menahan payungnya supaya tidak dulu keluar karna hujan. Tapi dia tetap memaksa pulang dengan payung yang aku yakin bahwa itu tidak akan cukup menutupi tubuhnya dari hujan. Saya tau itu salah satu pengorbanan seorang ayah yang tidak akan bisa dipahami rasanya untuk aku yang sekarang ini.

Tidak lama ibu menyusul, dan memutuskan menginap di rumah bibiku yang sakit.

Sekitar pukul 4 pagi sebelum adzan subuh ibuku pulang. Mengetuk pintu, dan dibukakan bapakku. Dari kamarku, aku bisa mendengar dengan jelas sambutan bapak saat itu. Tau apa yang diucapkan bapakku ke ibu yang baru pulang karna ngerawat adiknya yang sakit??

"Ngga usah pulang lain kali. Ngga ijin dulu, buat apa bantuin dia mau dia meninggal atau ngga terserah bla bla bla bla!!!" 

ibu terdiam, aku tau perasaan ibu hancur di dalam. 

Perasaanku? Sebagai anak laki-lakinya ibu aku sangat marah. Dan aku selalu marah jika dia seperti ini ke ibu. Sebagai catatan, bibiku yang sakit ini emang orang yang kurang disenangi karna perilakunya sendiri.

Ibu lalu ke dapur dan melakukan aktifitasnya seperti biasa, memasak sarapan untuk kami sekeluarga. Sampai suatu ketika ibu mau mengambil sesuatu di kamarku. Melihat aku yang sudah tidak bagus perasaannya, ibu melanjutkan mencari yang ia cari.

"Bu, kalo ibu udah capek sama bapa nanti ngomong aku ya. Biar nanti aku cari kontrakan trus kita ngga usah balik ke rumah ini" aku sedikit emosi, ibu diam

"Bu, dari dulu aku pengen keluar dari rumah ini karna ngga tahan liat ibu gini" ibu masih terdiam. Dan aku yakin bapak denger apa yang aku bilang ini.

Tidak lama adzan subuh berkumandang. Aku kemudian sholat dan kembali ke kamar.

Sekitar pukul 5 pagi, dari dalam kamar aku mendengar ada suara tetanggaku masuk ke rumah. Ia sepertinya mencari ibu dan setelah bertemu ia seperti memberitahu ibu sesuatu. Kemudian tetanggaku melihat aku sedang duduk diatas kasur dan memainkan hp trus senyum, aku balas senyum balik. Tetanggaku pamit pulang.

Tiba-tiba ibu yang sedang masak jalan mendekati bapakku dan berkata

"Pak, si **** udah meninggal" ibu mengatakannya dengan nada data.

Lalu ibu menyuruhku ke rumah bibiku itu lebih dulu siapa tau butuh sesuatu di sana. Sesampainya aku di sana ternyata benar, bibiku sudah meninggal. Dan disitu aku baru tau bahwa ibu menemani bibiku sepanjang malam tanpa tidur. Benar-benar pagi yang kejam untuk ibu.

Sehat-sehat ya bu.

Sunday 20 June 2021

Maafku untuk Grahita.

 Aku ingin di akhirku Grahita menangis saat mendengar kabar bahwa satu-satunya Alfa yang ia kenal sudah tidak akan lagi berjalan di Bumi yang sama dengan dia. Tapi jikapun dia tidak menangis, paling tidak dia tau siapa yang sudah selesai di ujung sana. Aku tidak menginginkan apa apa saat itu, aku tau dia baik-baik saja, aku tau dia akan begitu untuk waktu yang lama. 

Karna jika tidak, maka aku akan sakit lebih dari saat ketika kamu bilang "Maaf fa. Aku menyakitimu, lagi". Ketahuilah bahwa saat aku berjanji tentang mendoakanmu, aku tidak main-main saat itu. Mungkin saja udara yang masih kamu hirup adalah salah satu doaku, mungkin saja laki-laki baik disampingmu itu juga salah satu doaku, anak-anakmu, baju bagusmu, sehat dan bahagiamu barangkali semua itu juga termasuk doaku yang kamu tidak tau. Tapi jika kamu baca ini sekarang, ya kamu tau.

Tapi maaf ya, aku pernah berdoa dengan sangat egois meminta kamu saja yang jadi pasanganku. Tapi tidak masalah jika ini tidak terwujud, sebab aku tau kamu juga berdoa soal yang terbaik. Kamu pernah mengatakan bahwa aku ini orang baik, aku sempat menaruh banyak harap disana. Tapi ternyata aku lupa bahwa kata baik dan terbaik itu dua kata yang berbeda. Hahaha 

Selamat ya, maaf juga.

Hit, aku tidak menyalahkan kamu. Beberapa bulan yang lalu Tuhan seperti ingin menampar sadarku tentang bagaimana susahnya kamu di sudut yang tidak aku sadari sebelumnya. Ada orang bijak yang berkata bahwa manusia akan mengerti penderitaan satu sama lain hanya jika ia mengalami sakit yang sama. Iya, aku mengalaminya. Dan karena itu aku ingin meminta maaf, juga memaafkan. 

Setelah semuanya, mau bagaimanapun akhirnya kita ini memang berteman kan? Sudah sepantasnya tetap seperti itu. Ya kan? Hahaha

Thursday 21 February 2019

S O R E

Aku berharap berdua dengan sore.
Di saung sedang, tengah taman kota.
Pagi itu hujan, nampak sedikit dari biasanya.

Sepatu kita basah.
Sepatu kita tak betah.

Kamu menyendok es cream cup yang kita beli di perempatan.
Perlahan, bicara mulai menertawakan romantis yang tak disengaja.

Hujan mulai bertukar gerimis.

Sore beranjak, menghabiskan cup es creamnya lalu mulai keluar dari perlindungan.
Aku masih duduk, melihatnya berjalan dan kemudian melambai dari kejauhan.

Judulnya Nyusul.

Cuma mau ngasih tau

Masih ingat soal beberapa kalimat yang aku tahan? ya, sebenarnya sudah tertulis beberapa. Aku cuma menjauhkan sedihnya dari linimasamu. Begitu saja curhatku, terlalu primitif untuk manusia dengan pakaian penuh warna. Hitam, Coklat, Abu-abu. Gelap, Pekat, Samar. Tolong jangan kaitkan ini dengan masalahmu, tulisanku cuma murni keresahan. Mengalaminya atau tidak itu urusanku, bukan lagi kabar bagimu.

Ketikanku kini tak lagi punya nyawa seperti penawar. Dosis yang aku takar berbeda dengan sakit yang kamu tatar. Terkesan satir memang.

Wajar? bukan, Salah? Jelas.

Aku menyebutmu manusia yang kalimatnya menyakitkan. Aku yang sekiranya siap lepas tangan, ternyata masih saja erat berpegangan. Aku yang kalian sebut menyenangkan ini nyatanya tak cukup berani mengambil waktu kalian. Aku yang sud..

Maaf, Aku ternyata bukan kamu.

Thursday 8 November 2018

Rintik Air diawal Gerimis

Ini akan menjadi cerita yang amat singkat, dan ini bisa jadi cerita yang cukup aku ingat. Asal kau tau, aku pernah mengibaratkan seseorang yang spesial disampingmu itu layaknya sesuatu yang cukup menyenangkan untuk sebagian orang. Jadi seperti ini, bisa diibaratkan kehadirannya itu seperti rintik air diawal gerimis, mengisyaratkanku untuk menjauh dan meneduh.. lalu kemudian pengakuannya terhadapmu adalah hujan deras yang dinginnya merenggut kehangatan dari semua tatapmu kepadaku. Menyejukan memang, terlalu dingin bahkan. 

Dilain sisi kau dengannya menari-nari dibawah guyuran hujan lalu kalian menyebutnya itu romantis, aku.. meneduh dan menjauh, menggigil menahan dingin setelah hangatnya mulai tak lagi tersentuh, Lalu kemudian aku menyebutnya ini tragis. Aku hanya bisa memberimu sebuah payung karna aku tau, kau menyembunyikan rasa kedinginan itu dihadapannya. Persis sama dengan apa yang aku lakukan terhadapmu. Selanjutnya kalian berjabat tangan dilanjutkan dengan melambaikan tangan dan saling melempar doa agar selamat sampai tujuan, berjalan berlainan arah untuk pulang ke Rumah masing-masing. Sesederhana itu saja.

Kemudian disaat kau mulai merasakan kedinginan yang amat sangat, kau mulai menghubungiku untuk menanyakan bisakah aku membuatkanmu secangkir teh hangat yang diaduk dengan tawa? maka aku akan mengiyakan pertanyaanmu itu dengan caraku sendiri supaya kau tak tau bahwa sebenarnya aku sedang mengarahkan hangat kepadamu. Lalu kau sembuh.. dan bersiap mandi hujan kembali, kau sakit, aku mengiyakan.. siklus abadi yang tak sengaja kita ciptakan sendiri.

Mungkin jika ada yang berfikir bahwa aku sakit saat mengetik ribuan huruf untuk kemudian dirangkai menjadi bait-bait pahit, aku akan mengatakan..

"Kalian salah"

Justru aku tengah tersenyum sekarang, membayangkannya yang dengan sangat mudahnya disukai oleh semua orang. Dan aku bersyukur juga sudah pernah menjadi teman akrabnya dulu, bahkan dia pernah ingin meminjamiku salah satu handphonenya hanya sekedar supaya kita bisa saling sapa dalam pesan singkat. Untuk aku yang sekarang, semua itu terdengar menggelikan memang, tapi itu adalah kenangan yang patut aku simpan. Aku harus bisa mempertahankan kenangan yang perlahan mulai samar-samar ini, dan aku tau satu alasan kuat yang mungkin menjadi penyebab memudarnya kenangan itu. 

Alasannya adalah ada seseorang yang baru.